Fenomena Bahasa Alay

bahasa alay

Bahasa merupakan Instrumen penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa kita bisa berkomunkasi satu sama lain. Meski seolah-olah bahasa itu tidak penting tetapi, adalah mustahil manusia hidup tanpa bahasa. Oleh karena demikian berartinya sebuah bahasa sehingga perlu untuk menghormati dan menjunjung tinggi bahasa.

Seperti kita ketahui “Bahasa Indonesia mempunyai banyak ragam (varian) yang dipakai sesuai konteksnya. Misal untuk acara kenegaraan atau keperluan akademis kita menggunakan bahasa Indonesia baku. Sementara untuk keperluan sehari-hari, bahasa Indonesia yang kita pakai bersifat tidak baku—informal—dan acapkali dipengaruhi oleh bahasa daerah masing-masing” (Ikmi Nur Oktavianti, 2012).

Dari varian bahasa formal-informal yang paling sering menjadi pergunjingan adalah penggunaan bahasa informal, dimana acapkali bahasa informal ini jauh menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia, bahkan dianggap tak layak dipakai dalam percakapan sehari-hari karena dianggap sebagai bentuk “pelacuran bahasa”.

Dalam perkembangannya ada berbagai istilah yang digunakan untuk menamakan bahasa informal yang nyeleneh , misalnya “Bahasa Gaul” kemudian belakangan ini ada istilah “Bahasa Alay”.

Tren bahasa alay terus merebak. Tak hanya di kalangan anak muda, tetapi juga di antara orang dewasa. Bahasa pergaulan yang mulai populer tahun 2009 ini pun masih sajangetren sampai saat ini dalam berbagai variasi. Bahasa ini makin masif karena media massa memopulerkannya lewat iklan dan tayangan-tayangan.

Menanggapi fenomena ini, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Mahsun, tak ambil pusing. Bahasa gaul anak muda ini tidak dinilainya sebagai suatu permasalahan yang besar.

“Biarlah untuk sesaat dan hanya untuk kepentingan pergaulan anak muda. Selama kita dapat menumbuhkan kesadaran bahwa bahasa alay juga merupakan bagian dari varian bahasa kita, mereka pun tahu caranya berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai tempatnya,” terang Mahsun (Kompas, 2012).

Sementara itu, menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bramantio menjelaskan, alay merupakan komunitas di kalangan remaja dengan karakteristik yang tidak biasa. “Alay merupakan suatu fenomena yang terjadi pada sekelompok remaja minoritas dan memiliki karakteristik yang unik. Bahasa yang mereka gunakan terkadang “menyilaukan” mata dan “menyakiti” telinga bagi masyarakat yang tidak terbiasa,” tutur Bramantio (Unair, 2012).

Munculnya Bahasa Alay

Menurut Bramantio, kemunculan bahasa alay berkembang sejak masuknya teknologi layanan pesan singkat atau SMS. Keterbatasan karakter pada fitur handphone membuat mereka harus mencari cara untuk menyingkat isi SMS. Lalu bahasa alay semakin berkembang sejak kemunculan situs pertemanan semisal Friendster.

Kemunculan jejaring sosial Facebook pun semakin menambah akses seseorang untuk mengungkapkan keadaan dirinya agar mendapat perhatian orang lain. Alhasil akun pengguna maupun status yang dibuat pun harus tampil tidak biasa. (Unair, 2012).

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Hanafiah Hidayatur Rohmah. Dia menjelaskan, internet dan jejaring sosial adalah media massa yang paling berpengaruh dalam menyebarluaskan bahasa aly. Anak muda zaman sekarang lebih sering menggunakan jejaring sosial untuk berkomunikasi (Kompasiana, 2012).

Dampak Positif dan Negatif Bahasa Alay

Sebenarnya, bahasa alay memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari bahasa alay yakni sebagai media berekspresi bagi remaja yang memiliki kebutuhan untuk diperhatikan lebih. Sementara, sisi negatif bahasa alay membuat bingung bagi orang yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakannya.

“Bahasa alay sebaiknya tidak hanya dilihat dari dimensi positif atau negatif saja, melainkan sebagai bagian dari dinamika bahasa dan berbahasa. Bahasa alay juga merupakan variasi bahasa yang biasa terjadi di ranah kebahasaan apapun dan variasi tersebut tidak berkedudukan sebagai ancaman bagi bahasa Indonesia yang telah baku,” ujar Dosen Sastra Indonesia itu (Unair, 2012).

Pendapat senada turut disampaikan Iben. Dia menjelaskan, meluasnya penggunaan bahasa alay oleh masyarakat bukan sebuah indikasi bahwa bahasa Indonesia akan tergantikan. Sebab, bahasa alay maupu prokem, lanjutnya, hanya digunakan dalam komunikasi lisan.

“Saya tidak merasa khawatir jika bahasa alay akan menggantikan bahasa forma/bahasa baku. Karena, bahasa alay akan terseleksi dengan sendirinya untuk dapat masuk menjadi bahasa baku,” ungkap Iben (Okezone, 2012).

Dampak negatif dari penggunaan bahasa alay juga diungkapkan oleh Hanafiah Hidayatur Rohmah, penggunaan bahasa alay yang terlalu sering bisa menjadi kebiasaan pada kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika orang berbicara serius dijawab dengan bahasa alay misal : “ditanya lagi ada masalah apa?” malah dijawab “ciyus, miapah”, itu akan membuat orang emosi mendengarnya (Kompasiana, 2012).

Sebenarnya penggunaan bahasa alay hanyalah untuk hiburan semata. Jika di dalam penggunaannya, kita dapat mengontrol diri kita untuk tidak melupakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan juga kita tidak bertindak semaunya dalam penggunaan bahasa alay tersebut. Kita harus bisa memahami kondisi kapan dan kepada siapa kita dapat menggunakannya.

Sumber :
http://www.unair.ac.id/berita.unair.php?id=1436
http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/24/alay-sebagai-bahasa-sebagai-modernisasi-bahasa-baru-bagi-perkembangan-abg-masa-kini-519358.html
http://kaleidoskop.okezone.com/read/2012/12/29/349/738914/bahasa-alay-vs-bahasa-baku
http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/29/15275282/Bahasa.Alay.Biarkan.Saja
http://bahasa.kompasiana.com/2012/11/28/pro-kontra-bahasa-alay-512412.html

Tinggalkan komentar