Etika Menulis Blog

Meskipun etika dalam hal penulisan blog tidak tertulis, seorang blogger di dunia blog tetap punya aturan dan etika. Ibaratnya seperti kita hidup dalam bermasyarakat, apa kata orang kalau kita tidak memiliki etika? Kacau kan ujung-ujungnya? Begitu juga berlaku bagi masyarakat di dunia maya, khususnya di dunia blog. Seorang blogger ibaratnya adalah individu yang hidup di lingkungan masyarakat blog, jadi sama saja kita juga punya etika dan aturan di sini.

Apalagi tulisan di blog kita berada di ranah publik, blog tentu harus memandang norma yang berlaku. Baik saat menulis/menyajikan konten di halaman sendiri dan komentar di halaman weblog orang lain. Bukan hanya hal salin tempel/copy-paste dan pembajakan konten.

Perlu atau tidak? Tentu saja perlu. Bahkan mungkin sudah diterapkan dengan tidak sadar. Tiap pemakaian mesin blog, fitur blog, dan hosting-nya memiliki ‘perjanjian’ tertentu, bukan?

Takut blog menjadi tidak lagi cair dan malah kaku? Agak miris memang melihat jalur hukum ditempuh demi bermasalah dengan blog.

Tiap tindakan tentu ada risikonya. Bagaimana mengurangi peluang terjadinya risiko tersebut? Lebih baik mencegah daripada menyesal kemudian, bukan?

Beberapa point yang perlu diperhatikan saat menulis di blog (Menurut Dhidik Prastiyanto) adalah sebagai berikut:

1. Isi tulisan tidak mengandung unsur SARA
Masalah SARA sangat rentang menimbulkan pertentangan yang akan berakibat buruk apalagi ditulis dalam media online yang bersifat mudah menyebar. Pemahaman orang tentang hal ini tentu saja berbeda-beda berdasarkan latar belakan orang yang membacanya. Keanekaragaman pemikiran tersebut akan menyulut masalah SARA yang ditulis dalam suatu blog menjadi masalah yang serius dan susah terkendalikan.

2. Tidak berbau pornografi
Suatu hal yang perlu diingat sebagai penulis blog disini bahwa blog dapat diakses oleh siapapun tidak terkecuali oleh anak dibawah umur. Memang penyedia layanan hosting blog seperti wordpress pun telah merilis aturan di term servicenya telah melarang adanya unsur pornografi dan akan memberi sanksi pada penulis ayng melanggar. Akan tetapi unsur pornografi yang diselipkan dalam kata-kata berbahasa indonesia akan sulit untuk terlacat.

3. Tidak melanggar hak cipta
Hal ini perlu digaris-bawahi karena banyak blog yang menyertakan link ke suatu file berupa lagu, buku elektronik, software, film atau karya lain yang sebenarnya terlindungi oleh hak cipta. Memang ada banyak perdebatan tentang hak cipta. Akan tetapi sebagai penulis yang baik kita berusaha untuk tidak melanggar hak cipta.

4. Pencantuman sumber tulisan
Dalam menulis, kita seharusnya menghargai penulis lainya apabila kita menulis berdasarkan referensi yang ada pada artikel penulis lain. Mencopy-paste adalah suatu hal yang sangat dilarang pada tulisan ilmiah, tetapi di blog menurut pendapat saya masih bisa ditoleransi asal mencantumkan sumbernya dan membuat link ke sumber tersebut. Jika kita ingin belajar menulis maka hindarilah copy paste. Dengan membaca dari berbagai sumber dan ditambah dengan pengetahuan yang kita miliki, kita dapat menulis tanpa harus mencopy paste artikel dari orang lain. Sekali lagi kita bisa meneruskan tulisan orang lain yang kita anggap bermanfaat dan menyebutkan bahwa tulisan tersebut berasal dari sang penulis aslinya.

5. Penggunaan Inisial
Pada saat membahas suatu kasus yang belum jelas, sebaiknya menggunakan inisial. Asas praduga tidak bersalah sebaiknya kita terapkan. Intinya dalam menulis adalah tujuan yang akan kita capai. Kiat bisa menyamarkan suatu kasus dalam bentuk cerita fiksi dengan penokohan yang berbeda untuk menyampaikan pesan dan hikmah yang dapat diambil dari suatu kasus.

6. Kata kunci yang tepat
Terkadang untuk kepentingan meningkatkan traffik blog, orang membuat kata kunci yang tidak sesuai dengan isi artikelnya. Hal ini akan menyesatkan pencari artikel. Mungkin masih bisa ditoleransi kalo isinya berguna bagi pencari artikel yang tersasar atau pencari produk yang tersasar tersebut. Sekali lagi ini hanya etika saja jika kita tidak ingin mempersulit orang lain. Memang sangat banyak informasi yang tidak relevan dengan yang kita cari di internet tapi setidaknya dengan menggunakan kata kunci yang tepat kita sedikit mengurangi masalah tersebut. Kontribusinya memang tidak significant tapi kalo semua penulis menggunakan keyword yang tepat akan memudahkan pembaca.

Sumber :
http://www.budaya-adiluhur.com/etika-seorang-blogger.xhtml
http://baliblogger.org/artikel/trekking-panduan-etika-blog-2.html
http://dhidik.wordpress.com/2009/10/11/etika-menulis-blog/

Contoh Paragraf Deskripsi dan Eksposisi

1. Paragraf Deskripsi

Berikut adalah contoh paragraf deskripsi yang diambil dari buku yang berjudul “The Story of My Life”.

Kuhabiskan bulan-bulan musim gugur bersama keluargaku di pondok musim panas kami, di sebuah gunung sekitar empat belas mil dari Tuscumbia. Tempat itu disebut Fern Quarry, karena di dekatnya terdapat tambang batu kapur yang sudah lama tak terurus. Tiga sungai kecil melintasinya dengan mata air yang bersumber dari bebatuan di atasnya, meloncat ke sana kemari dalam riam tawa tiap kali bebatuan mencoba menghalangi jalan mereka. Bagian ujungnya dipenuhi pakis yang menutupi seluruh alas batu kapur dan di tempat-tempat yang menyembunyikan aliran. Bagian lainnya penuh dengan pohon-pohon berkayu tebal. Disini terdapat pohon ek besar dan pohon-pohon berdaun hijau yang elok dengan batang pohon menyerupai tiang-tiang berlumut yang cabang-cabangnya terkalungi tanaman menjalar, dan pohon-pohon kesemek, yang aromanya bisa tercium dari tiap sudut hutan. Bau harum yang bisa membuat hati menjadi tenang. Di tempat itu, tanaman-tanaman liar tumbuh merambat dan menggantung dari satu pohon ke pohon lain, membentuk tempat teduh yang selalu dipenuhi kupu-kupu dan serangga sangat menyenangkan menenangkan pikiran di lembah yang hijau itu kala senja, dan mencium aroma yang segar dan wangi yang datang dari bumi saat menutup hari.

Pondok kami berdiri cantik di antara pohon ek dan cemara. Ruangan-ruangan kecil tertata di setiap sisi ruang panjang terbuka. Di sekeliling rumah terdapat serambi yang luas, di mana angin gunung berhembus leluasa, dengan aroma wewangian kayu. Kami lebih sering tinggal di serambi itu. Di tempat itu kami bekerja, makan, dan bermain. Di belakang rumah terdapat pohon butternut besar. Di sekelilingnya sudah dibangun tangga, dan di depannya pepohonan berdiri begitu dekat, hingga aku bisa menyentuhnya dan merasakan angin menerpa cabang pohon itu, atau daun-daunnya yang berjatuhan saat musim gugur.

Banyak pengunjung yang berdatangan ke Fern Quarry. Pada malam hari, di dekat api unggun, para lelaki bermain kartu dan menghabiskan waktu dengan berbincang dan menggerakkan badan. Kadang mereka bercerita bagaimana mereka bisa menaklukkan hewan unggas, ikan dan binatang berkaki empat: seberapa banyak bebek dan kalkun yang sudah mereka tembak, berbagai jenis ikan buas yang bisa mereka tangkap, dan bagaimana mereka membunuh rubah ganas, dan menjebak possum tercerdik dan mengejar rusa yang kabur. Sampai-sampai aku berpikir bahwa pastilah singa, macan, beruang, dan hewan liar lainnya akan dibuat terkapar tak berdaya oleh para pemburu lihai ini.

“Besok kita berburu!” itulah salam perpisahan saat lingkaran teman yang bersukacita itu pecah untuk istirahat. Para lelaki tidur di ruang luar, dan aku dapat merasakan nafas anjing-anjing dan para pemburu saat mereka terbaring di atas alas seadanya.

Menjelang fajar, aku terbangun oleh aroma kopi, desingan senapan, dan langkah berat para lelaki yang menjanjikan keberuntungan besar di musim berburu itu. Aku juga merasakan derap kaki kuda, yang sudah menempuh perjalanan dari kota dan diikat di bawah pohon. Sepanjang malam kuda-kuda itu berdiri dan meringkik, yang sepertinya ingin melepaskan diri dari tali kekangnya. Akhirnya para lelaki pun siap, dan sambil menyanyikan lagu-lagu lama, mereka menuju ke kuda-kuda mereka dengan gemerincing kekang dan lecutan cemeti dan anjing-anjing berlarian. Lalu berangkatlah para pemburu itu “dengan teriakan dan sorak-sorai dan suara liar: halloo!”

Berikutnya, kami menyiapkan bumbu membuat barbecue. Api menyala dari lubang yang dibuat masuk ke tanah, tiga batang kayu kami silangkan di atasnya, dan daging kami gantung pada kayu tersebut. Di sekitar perapian duduk orang kulit hitam sambil mengusir lalat dengan batang kayu yang panjang. Aroma daging yang terpanggang itu membuatku sangat lapar.
Saat kesibukan dan kemeriahan persiapan mencapai puncaknya, rombongan pemburu datang dua-dua atau tiga-tiga. Mereka kepanasan dan kelelahan. Kuda-kuda diselimuti busa. Anjing pemburu kelelahan dan terengah-engah—dan tak satu pun yang terbunuh. Setiap orang mengatakan bahwa ia sudah melihat setidaknya satu rusa, dan hewan itu berada sangat dekat dengannya. Namun betapapun bersemangatnya anjing-anjing itu mengejar buruannya, betapapun baiknya senapan diarahkan, pada saat picu ditarik, tak ada rusa yang terlihat. Cerita mereka mirip anak kecil yang mengatakan melihat kelinci dekat sekali—anak kecil itu melihat jejaknya. Namun, pesta yang kami adakan malam itu telah menghilangkan segala lelah dan kecewa. Kami duduk-duduk bukan untuk meyantap daging rusa tetapi daging sapi dan babi panggang.

Sumber : Keller, Helen. 2000. The Story of My Life. Atmoko, M. Rudi dan Salahuddien Gz. Jakarta : Genta Pustaka.

2. Paragraf Eksposisi.

Berikut adalah paragraph eksposisi yang diambil dari buku yang berjudul “Keajaiban Belajar”.

“Bagaimana Gaya Belajarmu ?”

Gaya belajar adalah sesuatu yang penting agar proses belajar bisa menyenangkan dan hasilnya pun memuaskan. Seringkali orangtua atau pengajar memaksakan suatu gaya belajar yang tidak cocok bahkan tidak disukai anak atau murid. Padahal gaya belajar merupakan kunci sukses untuk mengembangkan kinerja dalam belajar. Ini juga bisa diterapkan dalam tehnik memperoleh pengetahuan atau informasi secara individu atau dalam dunia kerja sekalipun. Sekali saja Anda mengetahui gaya belajar, maka jutaan ilmu akan mudah Anda serap. Karena gaya belajar merupakan kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi yang kita peroleh.

Ada 3 gaya belajar yang dikenal, yaitu : visual, auditorial, dan kinestetik.
Tipe Visual
Anak yang memiliki gaya belajar ini mendapatkan informasi dengan cara memiliki kontak mata dengan apa yang dipelajari. Maka ia akan sangat perlu untuk memperhatikan pelajaran di kelas, atau membaca buku. Cara ini ternyata membuat guru merasa senang karena melihat si murid memperhatikan pelajarannya. Ia jadi mudah diatur karena pas dengan kecenderungannya.
Anak tipe seperti ini biasanya juga teliti terhadap hal-hal kecil. Ia seperti melihat sesuatu dengan mudah. Ia juga pembaca tekun dan cepat.

Tipe Auditorial
Tipe pembelajar seperti ini tidak memerlukan kontak mata, tapi cukup mengoptimalkan pendengarannya. Ia jadi terkesan tidak memperhatikan pembicaraan, walaupun sebenarnya ia dengar. Anak seperti ini biasanya belajar lewat suara keras, atau listening.
Ciri lain tipe ini adalah biasanya mereka mudah terganggu dengan keributan. Dan mereka suka berbicara, berdiskusi, atau menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar.

Tipe Kinestetik
Tipe pembelajar seperti ini cenderung aktif. Ia harus bereksplorasi dan mengoptimalkan fisiknya. Sehingga ia tidak betah jika disuruh duduk berlama-lama di kelas atau hanya mendengarkan ceramah saja. Ia perlu menyentuh, bergerak, dan melakukan atau praktek. Jika bicara biasanya ia agak perlahan dan jika membaca, ia biasanya memakai jari sebagai petunjuk.
Sayangnya, karena kecenderungan itu, orang bertipe seperti ini malah sering dianggap anak nakal. Ini biasa terjadi selain karena ia tidak betah, ia juga ingin bergerak, dan ternyata malah mengganggu anak atau murid lain. Tipe seperti ini biasanya dominan menggunakan belahan otak kanannya.
Tentu tipe seperti diatas tidak selalu sempurna dimiliki seseorang. Biasanya kita juga melihat variasi tipe di atas pada satu orang. Misalnya variasi visual-auditorial, audio-kinestetik, atau visual-kinestetik.
Dan tentu pula tak ada tipe belajar yang terbaik. Yang ada adalah kita harus mengetahui tipe belajar kita atau anak (murid) kita dan mengoptimalkannya. Memang biasanya akan lebih sulit menangani anak bergaya kinestetik. Karena sang pengajar dituntut untuk lebih kreatif dalam menyampaikan pelajaran@

Sumber : Yunsirno. 2010. Keajaiban Belajar. Pontianak : Pustaka Jenius Publishing.

ANALISIS KASUS ASURANSI SYARIAH

PENDAHULUAN

Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.

Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.

Konsep asuransi Islam berasaskan konsep Takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata ”kafala yakfulu” yang artinya tolong menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Takaful yang berarti saling menanggung/memikul resiko antar umat manusia merupakan dasar pijakan kegiatan manusia sebagai makhluk sosial. Saling pikul resiko inidilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.

Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’min, takaful’ atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.

Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah ta’awun, yaitu prinsip hidup yang saling melindungi dan saling tolong menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota asuransi syariah dalam menghadapi hal tak tentu yang merugikan.

SEKILAS PERBEDAAN RISK SHARING DAN RISK TRANSFER

A. Pengelolaan risiko dalam asuransi konvensional

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance,dan secara aspek hukum telah dituangkan dalam Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246, “Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”.

Selain dalam KUHD pasal 246, juga dalam Undang – undang asuransi No. 2 tahun 1992 pasal 1 disebutkan Äsuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hokum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu peristiwa pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Pengertian lain, seperti dari Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum asuransi di Indonesia memberi pengertian asuransi sebagai berikut : “suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas” .

Robert I. Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi. D.S. Hansell, dalam bukunya Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with risk). Dalam asuransi konvensional perusahaan asuransi disebut Penanggung, sedangkan orang yang membeli produk Asuransi disebut Tertanggung atau Pemegang Polis, Tertanggung membayar sejumlah uang yang disebut premi untuk membeli produk yang disediakan oleh perusahaan asuransi . Premi asuransi yang dibayarkan oleh Tertanggung menjadi pendapatan perusahaan Asuransi, dengan kata lain terjadi perpindahan kepemilikan dana premi dari Tertanggung kepada Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung mengalami risiko sesuai dengan yang Tertuang dalam kontrak asuransi, maka Perusahaan Asuransi harus membayar sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan kepada Tertangggung atau yang berhak menerimanya. Sebaliknya bila sampai akhir masa kontrak Tertanggung tidak mengalami risiko yang diperjanjikan maka kontrak Asuransi berakhir maka semua hak dan kewajiban kedua belah pihak berakhir. Dari proses diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi perpindahan risiko financial yang dalam istilah asuransi disebut dengan transfer of risk dari Tertanggung kepada Penanggung.

Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Contoh lain dalam asuransi jiwa, ketika seseorang membeli asuransi kematian (term insuransce) dengan jangka waktu perjanjian 5 (lima) tahun dengan uang pertanggungan 100 juta rupiah, maka dia harus membayar premi yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi (misal 500 ribu rupiah) per tahun, artinya bila tertanggung meninggal dunia dalam masa perjanjian diatas, maka ahli waris atau orang yang ditunjuk akan memperoleh uang dari perusahaan asuransi sebesar 100 juta, namun bila peserta hidup sampai akhir masa perjanjian maka dia tidak akan memperoleh apapun.

Ditinjau dari sudut syariah, contoh transaksi yang terjadi diatas dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli (pertukaran atau jual beli), namun cacat karena ada unsur gharar (ketidakjelasan), yaitu tidak jelas kapan pemegang polis akan mendapatkan uang pertanggungan karena dikaitkan dengan musibah seseorang (bisa tahun pertama, kedua atau tidak sama sekali karena masih hidup di akhir masa perjanjian). Ketika unsur gharar terjadi maka terdapat juga unsure maisir (perjudian), karena dari transaksi diatas apabila terjadi klaim, perusahaan asuransi akan membayar uang pertanggungan kepada peserta jauh lebih besar dibanding dari premi yang diberikan oleh peserta tersebut, juga sebaliknya bila peserta tidak mengalami risiko yang diperjanjikan, maka dia akan kehilangan semua premi yang telah dibayarnya.

B. Pengelolaan risiko dalam asuransi Syariah

Dalam asuransi syariah, tidak mengenal pengalihan risiko (transfer of risk) yang digunakan adalah pembagian risiko (sharing of risk). Dengan konsep pembagian risiko, yang saling menanggung risiko adalah para peserta itu sendiri bukan perusahaan asuransi, sehingga perusahaan asuransi bukan sebagai penanggung tetapi berfungsi sebagai pemegang amanah, juga peserta tidak membeli polis tetapi memberikan donasi/derma (dalam asuransi syariah sering dinamakan tabarru’) yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi pengalihan kepemilikan dana, yang ada adalah pengumpulan dana atau pooling of fund.

Contoh, ketika seorang peserta mengikuti asuransi kebakaran; untuk rumah tinggal, dia akan memberikan kontribusi dana (ditentukan oleh perusahaan asuransi syariah) yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta, perusahaan asuransi syariah akan memasukkan dana tersebut kedalam suatu kumpulan dana peserta (rekening khusus), bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut maka perusahaan (sebagai wakil dari peserta) akan mengambil dana dari rekening khusus diatas dan memberikannya kepada peserta yang mengalami musibah, namun bila tidak terjadi musibah kebakaran terhadap tempat tinggal peserta diatas, dan masih ada kelebihan dana pada rekening khusus diatas, maka ada pengembalian sebagian dana tersebut.

KONDISI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA

Kondisi Asuransi Syariah di Indonesia
Data Departemen Keuangan menunjukkan market share asuransi syariah pada tahun 2001
baru mencapai 0.3% dari total premi asuransi nasional. Dibidang aturan hukum saat ini
sedang digodog aturan khusus mengenai asuransi syariah yang diharapkan dapat memberi
dampak yang signifikan sebagaimana dampak dari UU Perbankan tahun 1998.

Hambatan Pengembangan Asuransi Syariah
Instrumen tidak dikenal masyarakat luas
Anggapan masyarakat Indonesia pengurusn klaim asuransi menyulitkan
Instrumen Asuransi kalah bersaing dengan isntrumen investasi seperti surat berharga
Asuransi syariah belum tersosialisasikanluas seperti perbankan syariah

Peluang pengembangan Asuransi Syariah
Alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang
sesuai dengan hukum Islam
Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syariah untuk pengamanan
aset dan transaksi perbankan

Peluang pengembangan Asuransi Syariah.
Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syariah adalah
ditetapkannnya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syariah.

CONTOH KASUS PADA PT. PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE

Perusahaan besar harus siap dengan ujian besar pula. Di tengah pergeseran tren masyarakat yang mulai menunjukkan minat terhadap sistem asuransi, perusahaan asuransi pun harus menunjukkan bahwa ia betul-betul dapat menjadi andalan dan harapan masyarakat yang membutuhkan “perlindungan”nya. Sedikit memantau. Setelah dahulu pernah bermasalah (digugat pailit) oleh salah satu agen penjualnya, PT.Prudential Life Assurance harus berjibaku kembali, kali ini dengan pihak nasabahnya. Pokok perkaranya adalah “klaim” asuransi yang tidak dibayarkan.

Sebagai pengingat, PT. Prudential, yang secara umum layak diakui prestasinya.Terutama dalam menjaring nasabah. Digugat oleh Victor Joe Sinaga, suami dari almarhumah Eva Pasaribu yang merupakan nasabah perusahaan asuransi jiwa tersebut. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan melanjutkan sidang kasus ini kemarin (18/10) setelah sebelumnya proses mediasi menemui jalan buntu. Pada sidang hari itu acara yang dilaksanakan adalah Jawaban dari Prudential atas Gugatan Victor. Inti jawaban Prudential adalah membantah seluruh tuduhan Victor yang menyatakan Prudential telah melanggar perjanjian Polis Asuransi dengan Eva. Justru sebaliknya Prudential menuduh Eva telah berbohong karena ketika mengajukan asuransi pokok dan tambahan, ia tidak mengaku kalau mengidap penyakit jantung. Itu lah yang menjadi dasar bagi penolakan klaim Victor ketika istrinya meninggal dunia. Itu lah intinya.

Oke. Detail perkara dan proses persidangan itu biarlah berjalan. Adu dalil atau bantahan biarlah menjadi jatah para kuasa hukum (pengacara) mereka. Yang hendak penulis garis bawahi adalah preseden apa dari kasus ini ditinjau dari sisi pengaruhnya terhadap masyarakat. Memang jika dilihat dari argumen-argumen kedua pihak yang berperkara ini sama-sama punya alasan. Yang satunya menggugat wanprestasi dan menuntut klaimnya dibayar, sedangkan lawannya menolak karena merasa nasabah menyembunyikan penyakitnya.

Ini memang debatable. Sepengetahuan penulis, selama ini memang calon nasabah yang hendak mengikuti program asuransi dilarang menyembunyikan riwayat penyakitnya. Yang menjadi masalah di sini adalah sangat jarang, bahkan mungkin belum pernah ditemui adanya syarat formal sebuah medical check up kesehatan calon nasabah. Hal ini akan menjadi masalah besar jika ternyata “nasabah sendiri tidak mengetahui bahwa ia mengidap suatu penyakit”. Ada sebuah lubang besar persengketaan disini. Yang bisa menjadi penghambat kepastian berasuransi itu. Di sadari atau tidak ini akan sangat “menakut” kan nasabah. Bisa terjadi kekhawatiran yang beralasan bagi nasabah lain. Tentu saja mengenai kepastian pembayaran klaim itu.

Terhadap kasus ini. Mengingat mediasi yang diharapkan menjadi penyelesaian terbaik ternyata gagal. Yang akan sangat berperan nantinya adalah bukti. Sebuah pembuktian bahwa :

1. Apakah benar Almarhumah Eva menyembunyikan riwayat penyakit jantungnya?

2. Apakah benar Prudential telah wanprestasi (ingkar janji) terhadap perjanjian yang telah tercantum di polis asuransi?

Untuk bukti yang pertama jelas adalah kewajiban Prudential untuk membuktikannya. Jika ia bisa membuktikan secara tertulis, diantaranya hasil medical check up nasabah sebelum perjanjian polis yang jelas menyatakan bahwa Almarhumah Eva mengidap penyakit jantung. Dan riwayat ini tidak diserahkan oleh calon nasabah. Maka jelas penolakan klaim oleh prudential itu layak diterima secara hukum. Namun jika tidak ada, atau bukti yang diajukan adalah hasil pemeriksaan setelah yang bersangkutan meninggal. Maka bukti itu akan sangat lemah. Apalagi jika dalam syarat penandatanganan polis asuransi tidak di perjanjikan adanya medical check up. Terkecuali pihak Prudential menganggap memiliki bukti lain yang cukup untuk itu.

Untuk bukti yang kedua tentu saja masih sangat terkait dengan bukti pertama. Yakni polis asuransi itu sendiri. Bukti ini menjadi penguat saat kebohongan/penyembunyian riwayat penyakit nasabah ini terbukti atau tidak terbukti.

Di luar itu semua. Penulis sangat menyayangkan kegagalan proses mediasi itu. Karena jika Prudential berpikir panjang dengan menimbang masih adanya “lubang-lubang” persengketaan itu. Yang tentu saja nantinya harus diperbaiki secara profesional. Maka langkah yang paling bijak sesungguhnya adalah membayar saja klaim itu. Almarhumah Eva menurut riwayatnya telah menjadi nasabah perusahaan asuransi ini sejak tahun 2007 dan meninggal pada tahun 2009. Dapatlah dianggap cukup loyal. Apalagi diketahui bahwa kubu Victor ternyata dalam proses mediasi bersedia menurunkan tuntutan klaim asuransi menjadi sebesar Rp.80 juta saja. Suatu jumlah yang “kecil” untuk perusahaan asuransi semapan Prudential. Belum lagi jika Prudential mau mempertimbangkan efek positif terhadap pembayaran klaim itu. Yaitu kepercayaan masyarakat yang semakin meningkat dalam hal sadar berasuransi. Dengan memandang kepastian dalam asuransi itu.

Wacana ini tentu saja bukan untuk Prudential saja. Tapi secara umum untuk perusahaan lain para pelaku bisnis asuransi. Harap diingat, tren menanjakknya jumlah nasabah bukan semata karena tawaran perlindungannya namun cenderung adalah karena bumbu pemikat investasinya yaitu “unit link” misalnya. Maka kepercayaan dan kepastian perlindungan itu haruslah diperhatikan kembali dengan seksama. Saya berkeyakinan jika produk tambahan seperti unit link ini tidak ditawarkan. Jumlah peminat asuransi (jiwa) akan jalan di tempat.

Mudah-mudahan sengketa ini dapat diselesaikan dengan baik. Perdamaian tetap dapat dilaksanakan meskipun proses beracara itu tetap berjalan. Yang jelas komitmen untuk menjadikan masyarakat sadar dan yakin berasuransi haruslah tetap dikedepankan. Tak terlalu penting sebuah kemenangan atau pun kekalahan jika telah berproses secara mati-matian di pengadilan. Tidak terlalu nyata/ada untungnya. Menang jadi arang kalah jadi abu. Berdamailah. Carilah jalan terbaik untuk semua.

Sumber :
http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1340:analisis-kasus-asuransi-konvensional-dan-asuransi-syariah&catid=24:iptek-dan-kesehatan&Itemid=287
http://www.prudent.web.id/file/asuransisyariah.pdf
http://hukum.kompasiana.com/2011/10/19/prudential-digugat-lagi-preseden-buruk-berasuransi/

Aspek Hukum Kebijakan Pengembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Pendahuluan
Tahun 1930 terjadi keributan atau gonjang ganjing ekonomi, dimana sistem ekonomi mainstream yang disebut juga sistem ekonomi dominan di dunia pada saat itu sebagai arus utama di Negara-negara maju khususnya Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga pada saat itu, great depresion awal tahun 1930 terjadi, dimana presiden AS, Franklin D. Roosevelt mempertanyakan keberadaan ekonomi alternatif untuk menjawab depresi besar yang terjadi di kala itu. Depresi ini akhirnya meneyadarkan dunia, ternyata sistem ekonomi mainstream yang telah diterima saat itu membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia.
Melihat fenomena faktual sistem ekonomi dunia semacam itu, maka munculah tuntutan untuk sgera mencari sistem ekonomi alternatif. Karena, masalah ekonomi yang sebenarnya adalah terletak pada bagaimana kekayaan itu diperoleh bukan pada konsep kekayaan itu ada atau tidak. Atas dasar itulah, sistem ekonomi Islam merupakan hukum-hukum yang mengatur tiga hal pokok yaitu kepemilikan, pengelolaan, dan distribusi kekayaan. Tiga hal inilah yang nantinya menjadi asas dari sistem ekonomi Islam itu sendiri. Tiga hal inilah yang sudah lama dilupakan dalam sistem ekonomi mainstream yang dominan, sehingga kegagalan-kegagalan akan terus datang silih berganti.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi barat atau kapitalis, juga ikut tersangkut dan terkena imbas dari carut marutnya persoalan ekonomi dunia. Maka, krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang seperti pada tahun 1930, 1970, 1980, 1999 sampai 2007 ini telah membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang berlandaskan pada filsafat materialisme – sekulerisme telah gagal dalam menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.
Maka dari itu, setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Indonesia mengakui adanya tuntutan ekonomi alternatif, yaitu sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dahulu eksis dalam kehidupan masyarakat.

Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia, khususnya Negara-negara Islam, Indonesia pun ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendekia-cendekia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara bermayoritas muslim terbesar di dunia, munculah pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada tahun 1974 yang digagas dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK).
Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat dengan pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Akan tetapi, meskipun adanya perbedaan dikalangan umat Islam, hal itu tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia. Rintisan praktik perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilarekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut diantaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai bahan uji coba, gagasan perbankan Islam tersebut kemudian dipraktikan dalam skala yang relatif terbatas, diantaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).
Kemudian, pada tanggal 18-20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor-Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja terkait disebut dengan sebutan Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) , yang sesuai akta pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp106.126.382.000,-. Sampai pada bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan dengan adanya pembuktian bahwa perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998, maka akhirnya perbankan-perbankan umum mengikuti jejak untuk membangun perbankan yang berbasis syariah.

Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional. Hal ini diakibatkan dari sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undang perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992, keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.
Setelah adanya revisi terhadap peraturan perundang-undangan perbankan dengan munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional.

Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas : mengenai Pendahuluan, Sejarah Perbankan Islam di Indonesia, serta aspek perbankan syariah di Indonesia, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Prospek perbankan syariah sangat menjanjikan di Indonesia untuk ikut memberikan kontribusi kepada perekonomian bangsa dan negara.
2. Perlu adanya peraturan perbankan syariah yang mandiri yang akan lebih komprehensif dalam pengaturannya.
3. Perlu adanya keberanian BI Indonesia untuk membuat terobosan baru dan super visi mengenai perbankan syariah dengan pembuatan kebijakan-kebijakan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
4. Perlu adanya peraturan pendukung mandiri terkait perkembangan perbankan syariah seperti: obligasi syariah, pasar modal syariah dan perdata syariah.

Disadur dari http://jufrism.wordpress.com/2008/02/19/aspek-hukum-kebijakan-pengembangan produk-perbankan-syariah/, diakses 19 Maret 2012.

PEMBANGUNAN KOPERASI

Pembangunan Koperasi di Negara Berkembang (di Indonesia)
Kendala yang dihadapi masyarakat :
1. Perbedaan pendapat masayarakat mengenai Koperasi
2. Cara mengatasi perbedaan pendapat tersebut dengan menciptakan 3 kondisi yaitu :
a. Koqnisi
b. Apeksi
c. Psikomotor
3. Masa Implementasi UU No.12 Tahun 1967
Tahapan membangun Koperasi :
a. Ofisialisasi
b. De-ofisialisasi
c. Otonomisasi
4. Misi UU No.25 Tahun 1992 merupakan gerakan ekonomi rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur berlandaskan Pancasila dan UUD1945.

Tahapan Pembangunan Koperasi di Negara Berkembang menurut A. Hanel, 1989
Tahap I : Pemerintah mendukung perintisan pembentukan organisasi koperasi.
Tahap II : Melepaskan ketergantungan kepada sponsor dan pengawasan teknis, manajemen dan keuangan secara langsung dari pemerintah dan atau organisasi yang dikendalikan oleh pemerintah.
Tahap III : Perkembangan koperasi sebagai organisasi koperasi yang mandiri.

Sumber : http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/pembangunan-koperasi

PERANAN KOPERASI

Peranan Koperasi dalam berbagai bentuk pasar. Berdasarkan sifat dan bentuknya, pasar diklasifikasikan menjadi 2 macam :
1. Pasar dengan persaingan sempurna (perfect competitive market).
Ciri-ciri pasar persaingan sempurna :
• Adanya penjual dan pembeli yang sangat banyak
• Produk yang dijual perusahaan adalah sejenis (homogen)
• Perusahaan bebas untuk mesuk dan keluar
• Para pembeli dan penjual memiliki informasi yang sempurna

2. Pasar dengan persaingan tak sempurna (imperfect competitive market) , yaitu : Monopoli, Persaingan Monopolistik (monopolistik competition), dan Oligopoli.
a. Koperasi dalam Pasar Monopolistik
Ciri-cirinya :
• Banyak pejual atau pengusaha dari suatu produk yang beragam
• Produk yang dihasilkan tidak homogen
• Ada produk substitusinya
• Keluar atau masuk ke industri relatif mudah
• Harga produk tidak sama disemua pasar, tetapi berbeda-beda sesuai dengan keinginan penjualnya
b. Koperasi dalam Monopsoni
• Disini ada penjual banyak tetapi hanya ada satu pembeli
c. Koperasi dalam Pasar Oligopoli
• Oligopoli adalah struktur pasar dimana hanya ada beberapa perusahaan(penjual) yang menguasai pasar
• Dua strategi dasar untuk Koperasi dalam pasar oligopoli yaitu strategi harga dan nonharga

Sumber : http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/peranan-koperasi

EVALUASI KEBERHASILAN KOPERASI DI LIHAT DARI SISI PERUSAHAAN

1. Efisiensi Perusahaan Koperasi

Tidak dapat di pungkiri bahwa koperasi adalah badan usaha yang kelahirannya di landasi oleh fikiran sebagai usaha kumpulan orang-orang bukan kumpulan modal. Oleh karena itu koperasi tidak boleh terlepas dari ukuran efisiensi bagi usahanya, meskipun tujuan utamanya melayani anggota.
• Ukuran kemanfaatan ekonomis adalah adalah manfaat ekonomi dan pengukurannya dihubungkan dengan teori efisiensi, efektivitas serta waktu terjadinya transaksi atau diperolehnya manfaat ekonomi.
• Efesiensi adalah penghematan input yang di ukur dengan cara membandingkan input anggaran atau seharusnya (Ia) dengan input realisasi atau sesungguhnya (Is), jika Is < Ia di sebut (Efisien)

Di hubungkan dengan waktu terjadinya transaksi/diperolehnya manfaat ekonomi oleh anggota dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat ekonomi yaitu :
1. Manfaat ekonomi langsung (MEL). MEL adalah manfaat ekonomi yang diterima oleh anggota langsung di peroleh pada saat terjadinya transaksi antara anggota dengan koperasinya.
2. Manfaat ekonomi tidak langsung (METL). METL adalah manfaat ekonomi yang diterima oleh anggota bukan pada saat terjadinya transaksi, tetapi di peroleh kemudian setelah berakhirnya suatu periode tertentu atau periode pelaporan keuangan/pertanggungjawaban pengurus & pengawas, yakni penerimaan SHU anggota.

• Manfaat ekonomi pelayanan koperasi yang diterima anggota dapat di hitung dengan cara sebagai berikut :
TME = MEL + METL
MEN = (MEL + METL) – BA
• Bagi suatu badan usaha koperasi yang melaksanakan kegiatan serba usaha (multipurpose), maka besarnya manfaat ekonomi langsung dapat di hitung dengan cara sebagai berikut :
MEL = EfP + EfPK + Evs + EvP + EvPU
METL = SHUa

Efisiensi Perusahaan / Badan Usaha Koperasi :
1. Tingkat efisiensi biaya pelayanan BU ke anggota
(TEBP) = Realisasi Biaya pelayanan
Anggaran biaya pelayanan
= Jika TEBP < 1 berarti efisien biaya pelayanan BU ke anggota
2. Tingkat efisiensi biaya usaha ke bukan anggota
(TEBU) = Realisasi biaya usaha
Anggaran biaya usaha
Jika TEBU Oa di sebut efektif.

Rumus perhitungan Efektivitas koperasi (EvK) :
EvK = Realisasi SHUk + Realisasi MEL
Anggaran SHUk + Anggaran MEL
= Jika EvK >1, berarti efektif Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Produktivitas Kope

Produktivitas Koperasi

Produktivitas adalah pencapaian target output (O) atas input yang digunakan (I), jika (O>1) disebut produktif.

Rumus perhitungan Produktivitas Perusahaan Koperasi
PPK = SHUk x 100 %
(1) Modal koperasi
PPK = Laba bersih dr usaha dgn non anggota x 100%
(2) Modal koperasi

3. Analisis Laporan Keuangan

Laporan keuangan koperasi selain merupakan bagian dari sistem pelaporan keuangan koperasi, juga merupakan bagian dari laporan pertanggungjawaban pengurus tentang tata kehidupan koperasi. Dilihat dari fungsi manajemen, laporan keuangan sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu alat evaluasi kemajuan koperasi.

Laporan keuangan koperasi pada dasarnya tidak berbeda dengan laporan keuangan yang di buat oleh badan usaha lain. Secara umum laporan keuangan keuangan meliputi (1) Neraca, (2) perhitungan hasil usaha (income statement), (3) Laporan arus kas (cash flow), (4) catatan atas laporan keuangan (5) Laporan perubahan kekayaan bersih sbg laporan keuangan tambahan.

• Adapun perbedaan yang pertama adalah bahwa perhitungan hasil usaha pada koperasi harus dapat menunjukkan usaha yang berasal dari anggota dan bukan anggota. Alokasi pendapatan dan beban kepada anggota dan bukan anggota pada perhitungan hasil usaha berdasarkan perbandingan manfaat yang di terima oleh anggota dan bukan anggota.
• Perbedaan yang kedua ialah bahwa laporan koperasi bukan merupakan laporan keuangan konsolidasi dari koperasi-koperasi. Dalam hal terjadi penggabungan dua atau lebih koperasi menjadi satu badan hukum koperasi, maka dalam penggabungan tersebut perlu memperhatikan nilai aktiva bersih yang riil dan bilamana perlu melakukan penilaian kembali. Dalam hal koperasi mempunyai perusahaan dan unit-unit usaha yang berada di bawah satu pengelolaan, maka di susun laporan keuangan konsolidasi atau laporan keuangan gabungan.

Sumber : http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/evaluasi-keberhasilan-koperasi-dilihat-dari-sisi-1

EVALUASI KEBERHASILAN KOPERASI DILIHAT DARI SISI ANGGOTA

1. Efek-Efek Ekonomis Koperasi

Salah satu hubungan penting yang harus dilakukan koperasi adalah dengan para anggotanya, yang kedudukannya sebagi pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

Motivasi ekonomi anggota sebagi pemilik akan mempersoalkan dana (simpanan-simpanan) yang telah di serahkannya, apakah menguntungkan atau tidak. Sedangkan anggota sebagai pengguna akan mempersoalkan kontinuitas pengadaan kebutuhan barang-jasa, menguntungkan tidaknya pelayanan koperasi dibandingkan penjual/pembeli di luar koperasi.

Pada dasarnya setiap anggota akan berpartisipasi dalam kegiatan pelayanan perusahaan koperasi :
1. Jika kegiatan tersebut sesuai dengan kebutuhannya
2. Jika pelayanan itu di tawarkan dengan harga, mutu atau syarat-syarat yang lebih menguntungkan dibanding yang di perolehnya dari pihak-pihak lain di luar koperasi.

2. Efek Harga dan Efek Biaya

Partisipasi anggota menentukan keberhasilan koperasi. Sedangkan tingkat partisipasi anggota dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : Besarnya nilai manfaat pelayanan koperasi secara utilitarian maupun normatif.

Motivasi utilitarian sejalan dengan kemanfaatan ekonomis. Kemanfaatan ekonomis yang dimaksud adalah insentif berupa pelayanan barang-jasa oleh perusahaan koperasi yang efisien, atau adanya pengurangan biaya dan atau di perolehnya harga menguntungkan serta penerimaan bagian dari keuntungan (SHU) baik secara tunai maupun dalam bentuk barang.

Bila dilihat dari peranan anggota dalam koperasi yang begitu dominan, maka setiap harga yang ditetapkan koperasi harus di bedakan antara harga untuk anggota dengan harga untuk non anggota. Perbedaan ini mengharuskan daya analisis yang lebih tajam dalam melihat peranan koperasi dalam pasar yang bersaing.

3. Analisis Hubungan Efek Ekonomis dengan Keberhasilan Koperasi

Dalam badan usaha koperasi, laba (profit) bukanlah satu-satunya yang di kejar oleh manajemen, melainkan juga aspek pelayanan (benefit oriented). Di tinjau dari konsep koperasi, fungsi laba bagi koperasi tergantung pada besar kecilnya partisipasi ataupun transaksi anggota dengan koperasinya. Semakin tinggi partisipasi anggota, maka idealnya semakin tinggi manfaat yang di terima oleh anggota.
Keberhasilan koperasi di tentukan oleh salah satu faktornya adalah partisipasi anggota dan partispasi anggota sangat berhubungan erat dengan efek ekonomis koperasi yaitu manfaat yang didapat oleh anggota tersebut.

4. Penyajian dan Analisis Neraca Pelayanan

Di sebabkan oleh perubahan kebutuhan dari para anggota dan perubahan lingkungan koperasi, terutama tantangantantangan kompetitif, pelayanan koperasi terhadap anggota harus secara kontinu di sesuaikan.

Ada dua faktor utama yang mengharuskan koperasi meningkatkan pelayanan kepada anggotanya.

1. Adanya tekanan persaingan dari organisasi lain (terutama organisasi non koperasi).
2. Perubahan kebutuhan manusia sebagai akibat perubahan waktu dan peradaban. Perubahan kebutuhan ini akan menentukan pola kebutuhan anggota dalam mengkonsumsi produk-produk yang di tawarkan oleh koperasi.

Bila koperasi mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anggota yang lebih besar dari pada pesaingnya, maka tingkat partisipasi anggota terhadap koperasinya akan meningkat. Untuk meningkatkan pelayanan, koperasi memerlukan informasi-informasi yang datang terutama dari anggota koperasi.

Sumber : http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/evaluasi-keberhasilan-koperasi-dilihat-dari-sisi

PERMODALAN KOPERASI

1. ARTI MODAL
Modal merupakan sejumlah dana yang akan digunakan untuk melaksanakan usaha-usaha koperasi. Modal terdiri dari modal jangka panjang & modal jangka pendek.

2. SUMBER-SUMBER MODAL KOPERASI
A. Sumber Modal Koperasi (UU No.12/1967)
• Simpanan Pokok
• Simpanan Wajib
• Simpanan Sukarela
• Modal Sendiri
B. Sumber Modal Koperasi (UU No.25/1992)
• Modal sendiri (equity capital) , bersumber dari simpanan pokok anggota, simpanan wajib, dana cadangan, dan donasi/hibah.
• Modal pinjaman (debt capital), bersumber dari anggota, koperasi lainnya, bank atau lembaga keuangan lainnya, penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya, serta sumber lain yang sah.

3. DISTRIBUSI CADANGAN KOPERASI
• Cadangan menurut UU No. 25/1992, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
• Sesuai Anggaran Dasar yang menunjuk pada UU No. 12/1967 menentukan bahwa 25 % dari SHU yang diperoleh dari usaha anggota disisihkan untuk Cadangan , sedangkan SHU yang berasal bukan dari usaha anggota sebesar 60 % disisihkan untuk Cadangan.

Manfaat Distribusi Cadangan :

• Memenuhi kewajiban tertentu
• Meningkatkan jumlah operating capital koperasi
• Sebagai jaminan untuk kemungkinan – kemungkinan rugi di kemudian hari
• Perluasan usaha

Sumber : http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management-s1/ekonomi-koperasi/permodalan-koperasi

JENIS DAN BENTUK KOPERASI

JENIS KOPERASI

1. Menurut PP 60/1959
a. Koperasi Desa
b. Koperasi Pertanian
c. Koperasi Peternakan
d. Koperasi Perikanan
e. Koperasi Kerajinan/Industri
f. Koperasi Simpan Pinjam
g. Koperasi Konsumsi

2. Menurut Teori Klasik, terdapat 3 jenis Koperasi:
a. Koperasi pemakaian
b. Koperasi penghasil atau Koperasi produksi
c. Koperasi Simpan Pinjam
Ketentuan Penjenisan Koperasi Sesuai Undang – Undang No. 12 /67 tentang Pokok – Pokok Perkoperasian (pasal 17)
1. Penjenisan Koperasi didasarkan pada kebutuhan dari dan untuk efisiensi suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan aktivitas/kepentingan ekonominya guna mencapai tujuan bersama anggota-anggotanya.
2. Untuk maksud efisiensi dan ketertiban, guna kepetingan dan perkembangan Koperasi Indonesia, di tiap daerah kerja hanya terdapat satu Koperasi yang sejenis dan setingkat.

BENTUK KOPERASI (PP No. 60 / 1959)
a. Koperasi Primer
b. Koperasi Pusat
c. Koperasi Gabungan
d. Koperasi Induk
Dalam hal ini, bentuk Koperasi masih dikaitkan dengan pembagian wilayah administrasi.
BENTUK KOPERASI YANG DISESUAIKAN DENGAN WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN (Sesuai PP 60 Tahun 1959)
• Di tiap desa ditumbuhkan Koperasi Desa
• Di tiap Daerah Tingkat II ditumbuhkan Pusat Koperasi
• Di tiap Daerah Tingkat I ditumbuhkan Gabungan Koperasi
• Di Ibu Kota ditumbuhkan Induk Koperasi
KOPERASI PRIMER DAN KOPERASI SEKUNDER
• Koperasi Primer merupakan Koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang –orang.
• Koperasi Sekunder merupakan Koperasi yang anggota-anggotanya adalah organisasi koperasi .

Sumber : ahim.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/7224/EKOP+7%268.ppt